Di hari kemerdekaan ini, ada satu hal yang ingin saya angkat di katabunda. Yaitu ketergantungan kita akan gadget. Bunda, teknologi sekarang sudah semakin maju, kita pun pasti merasakan manfaatnya kan. Siapa yang gak seneng bisa makan enak tanpa harus jalan kemana-mana, si abang ojek setia “membelikannya” untuk Bunda. Ibu rumah tangga yang terkurung di rumah pun bisa shopping sesuka hati dengan satu klik (walaupun uangnya tetep dari suami yah :D), dan barang yang diinginkan pun sampai dengan mulus. Dan masih banyak hal lain yang bisa kita rasakan semenjak si teknologi itu makin melejit.

Namun selain sisi baik ada juga sisi buruk dari teknologi. Seperti mata pisau, kalau kita tidak bijak menggunakannya, maka tersayatlah kulit kita. Kini semua hal hampir bisa kita lakukan melalui telepon genggam. Bunda bisa membaca berita apapun dengan membuka aplikasi di handphone, Ayah tak pernah kena macet lagi karena si “penunjuk jalan” setia membantu. Dan nenek pun terpuaskan hobi masaknya dari resep yang bertebaran di facebook. Begitu mudahnya semua kita dapat hanya dari membuka layar handphone.

Meski begitu teknologi mobile-lah yang kini menjadi penyebab kerenggangan hubungan antar keluarga. Menurut Felix Siauw, penulis buku “Beyond The Inspiration” di masa ini kebersamaan kita telah dirampok teknologi. Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Hal itu menganggu komunikasi antara Ibu, Ayah, anak dan saudara.

Felix Siauw bersama istri dan anak-anaknya.
Felix Siauw bersama istri dan anak-anaknya.

Banyak momen yang sakral menjadi hilang kehangatannya. Dahulu, momen makan malam saja adalah momen yang spesial, semua duduk di satu meja, menunggu Ayah datang untuk makan bersama. Disitu diksusi terjadi menghangatkan suasana, walaupun semua diam, tetap saja kebersamaan itu lebih dari segala-galanya.

Berbeda sekarang, kita tak lagi hangat, sebab pikiran kita sudah diisi percakapan di grup yang tiada habisnya, atau perdebatan yang tiada ujungnya. Kita lupa, bahwa cinta itu dipupuk dengan kebersamaan dan waktu, tidak ada jalan pintas untuk saling mengerti dan memahami. Saya setuju sekali dengan ini, terkadang kita terbalik. Manisnya bukan main bila berjumpa teman di grup whats app, kadang ikon hug dan kiss tak pernah lupa. Sementara saat berbicara dengan keluarga atau saudara kita, irit sekali, bahkan kadang ketus dan malas menanggapi.

Media sosial menjadi pengganti orang tua, kakak, adik, dan keluarga. Kita memang tak bisa lepas dari perubahan zaman, tapi bijaklah dalam menggunakannya, jadikan ia sebagai pendukung bukan pembunuh. Begitu pesan ustadz etnis Tionghoa ini, jangan sampai kecanduan media sosial.

Berselancar di dunia maya memang bisa jadi menambah ilmu, tapi keluarga pun punya hak, yang semakin berkurang dipenuhinya. Manfaatkan teknologi untuk menambah kerukunan antar keluarga bukan sebaliknya. Tunggu apalagi Ayah dan Bunda, bila ada yang lebih berhak atas waktu-waktu kita saat ini, merekalah keluarga kita, istri, suami, anak, orang tua.

Segera datangi mereka, bercakap-cakaplah, karena komunikasi itu dengan kata dan rasa, bukan hanya dengan jari dan emotikon. Ayo Ayah dan Bunda kita ciptakan generasi emas, anak-anak yang merdeka dari ketakutan, kecanduan, ketidaktahuan dan penuh dengan kasih sayang keluarganya. Merdeka Indonesiaku!.

*Sebuah intisari dari kultwit Felix Siauw

 

LEAVE A REPLY