Hubungan yang langgeng adalah impian setiap pasangan suami-istri ya, Bunda? Pernikahan yang diikat oleh ikrar suci, di mana kedua pasangan berjanji untuk saling mencintai hingga tua. Membangun bahtera rumah tangga yang kokoh dan saling melengkapi. Pernikahan sendiri sesungguhnya merupakan ibadah, di mana di dalamnya berisi begitu banyak lika-liku yang harus dihadapi bersama. Menyatukan dua pikiran tidak mudah, ada kalanya masalah datang bahkan hanya karena hal kecil seperti misalnya kesalahpahaman. Atau masalah lain yang sering kali muncul seperti masalah finansial, rasa bosan dan sebagainya. Memang banyak sekali godaan atau ujian dalam pernikahan ya, Bunda.

Dari data tahun 2020 sendiri ada 291 ribu kasus perceraian di Indonesia. Yang jika kita hitung berapa banyaknya, maka kemungkinan seluas 4 stadion apabila pasangan perceraian dikumpulkan nih, Bunda. Wah banyak banget, ya? Bahkan angka ini ternyata meningkat drastis di tahun 2021, yakni sekitar 439 ribu kasus perceraian di Indonesia. Faktor perceraiannya sendiri sangat beragam, dari mulai pertengkaran yang terjadi secara terus-menerus, perselingkuhan, ekonomi, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Angka tersebut bahkan belum termasuk kasus perceraian yang tidak terdata, atau bisa dikatakan secara diam-diam memutuskan untuk berpisah. Seperti apa yang dikatakan oleh seorang Psikolog Klinis di Brawijaya Hospital Duren Tiga, Firman Ramdhani, M. PSI., Psikolog dalam Acara Arisan Ilmu Ke-13 dengan judul atau tema “Commitment in Marriage” yang diadakan oleh Mommischology.

“Dari 2019 turun di 2020. Dan mungkin karena faktor pandemi, banyak yang dipecat akhirnya muncul problematika. Akhirnya naik lagi tuh perceraian, 439 ribu. Dahsyat banget, ya? Ini yang terdata, belum yang nggak cerai tapi diem-dieman. Ini masih banyak lagi,” kata Firman Ramdhani, M. PSI., Psikolog dalam acara Arisan Ilmu Ke-13 yang diadakan oleh Mommischology tersebut.

Lalu, apa saja sih penyebab perceraian?

1. Bosan Dan Tidak Puas

Dalam kasus perceraian, bosan atau tidak puas bisa menjadi salah satu penyebabnya. Misalnya kita tidak puas secara fisik yang seiring berjalannya waktu mungkin berubah, secara psikologis yang mungkin pasangan kita cuek atau kurang peka, secara seksual di mana tidak bisa memenuhi kebutuhan satu sama lain maupun secara finansial yang akhirnya menyebabkan banyak pertengkaran dalam rumah tangga ya, Bunda.

Sementara rasa bosan sendiri memang kerapkali muncul dalam suatu hubungan. Karena setiap hari cuma dengan satu orang saja, setiap hari hanya melihat dia saja di rumah sehingga rasa bosan itu tanpa kita sadari muncul secara perlahan. Dan apabila ditambah dengan tidak belajar bagaimana cara memanajemen suatu konflik, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan perceraian. Sebab ketika keluar dan menemukan orang baru, akan muncul rasa tertarik. “Ketika dia keluar ketemu orang baru, itu kayak punya ponsel baru. Excited lagi, dopamin di otak itu, zat dopamin muncul lagi. Kok kayaknya nyaman, ya? Kok kayaknya asik, ya? Sama kayak punya hape baru, persis,” ujar Firman Ramdhani, M. PSI. psikolog.

Rasa tidak puas dan bosan terhadap pasangan ini memang bisa menjadi penyebab yang cukup besar dalam perceraian ya, Bunda.

2. Kurang Komitmen

Kurangnya komitmen bisa menjadi penyebab selanjutnya dalam perceraian ya, Bunda. Komitmen sendiri itu artinya di mana kita tetap berusaha untuk bertahan meskipun dalam posisi yang kadang tidak enak. Berada dalam posisi yang membuat kita ingin menyerah atau pergi meninggalkan pasangan. Nah, komitmen ini tentu sangat diperlukan dalam pernikahan, sebab saat melakukan ijab qabul pun sebenarnya kita sudah berjanji kepada Allah SWT untuk mempertahankan rumah tangga kita ya, Bunda. Jadi tidak boleh menyerah saat ujian datang, seperti misalnya merasa tidak cocok lagi dengan pasangan. Maka harus kita usahakan dulu sebab memang sebenarnya nggak akan ada orang yang bakalan cocok sama kita 100% ya. Nah, orang-orang yang kurang komitmen ini biasanya lebih mudah untuk berselingkuh.

3. Ingin Dikagumi

Ada beberapa orang yang punya sifat seperti ini ya, Bunda. Ingin selalu dikagumi, ingin dihargai dan mendapat sorotan atau perhatian yang kemungkinan tidak cukup dengan satu pasangan saja. Sehingga ia pun memutuskan untuk berselingkuh karena pasangannya tidak memberikan kebutuhannya, yaitu ingin dikagum. Meskipun umumnya h ini lebih cenderung terjadi kepada pria, karena pria lebih sensitif dan selalu ingin dihormati atau dikagumi. Kurangnya penghargaan bisa menjadi kunci utama bagi pria untuk membangun pendekatan emosional dengan orang lain yang lebih menghargainya nih, Bunda. Meskipun hal demikian juga bisa saja terjadi kepada wanita. Apabila kehadirannya sudah tidak lagi dihargai oleh pasangan, maka pergi bisa menjadi pilihannya.

4. Balas Dendam

Balas dendam artinya dimana sebelumnya ia sudah pernah disakiti lalu ingin membalasnya. Sebuah hubungan yang sudah terlanjur toxic dan merasa ingin menyakiti pasangannya untuk memenuhi keinginan itu. Luka di masa lalu yang tidak kunjung hilang bisa membuat seseorang merasakan dendam, seperti misalnya orang yang pernah menjadi korban perselingkuhan. Ketika mengetahui pasangannya selingkuh maka muncul godaan untuk melakukan hal yang sama. Hal tersebut dilakukan sebagai ungkapan marah karena telah diselingkuhi lebih dahulu.

Selain beberapa hal di atas, perceraian juga ternyata memiliki faktor risiko nih, Bunda. Yang sebaiknya sebisa mungkin kita hindari apabila ingin hubungan pernikahan kita awet. Dalam Acara Arisan Ilmu Ke-13 dengan judul atau tema “Commitment in Marriage” yang diadakan oleh Mommischology ini, Firman Ramdhani, M. PSI., yang merupakan seorang Psikolog turut memaparkan beberapa faktor risiko perselingkuhan yang wajib untuk kita ketahui nih, Bunda. Mengingat memiliki hubungan yang langgeng adalah impian setiap pasangan. Penasaran apa saja? Yuk disimak!

Faktor Risiko Perselingkuhan

1. Komunikasi yang Buruk

Faktor risiko perselingkuhan salah satunya ialah komunikasi yang buruk ya, Bunda. Misalnya pasangan tidak empati, suka memaksakan kehendak dan tidak paham love language atau bahasa cinta. Kita harus berusaha untuk observasi pasangan kita mau apa. Ada seseorang yang bahasa cintanya kata-kata romantis, tetapi ternyata pasangannya malah mengutarakan bahasa cinta dengan pelukan dan sebagainya. Komunikasi yang buruk seperti sering berdebat atau bertengkar dapat menjadi faktor risiko perselingkuhan, bahkan bisa menjadi alasan orang untuk bercerai.

2. Kepribadian

Faktor risiko selanjutnya ada kepribadian nih, Bunda. Misalnya seperti narsistik tadi. Kepribadian emosional yang sering membuat pasangan bertengkar karena hal-hal sepele. Kepribadian yang merasa bahwa dirinya selalu ingin terlihat dipuji dan dikagumi. Lalu apabila tidak terpenuhi oleh pasangannya maka dia akan berselingkuh dan mencari di luar dengan orang lain atau lebih parahnya dengan berselingkuh ia menganggap itu sebagai suatu pencapaian. Wah ngeri ya, Bunda.

3. Kontrol Emosi

Kita cenderung memunculkan risiko berselingkuh kita pribadi atau pasangan. Ketika kita mudah sekali emosi, maka akan lebih mudah memunculkan risiko perselingkuhan ya, Bunda. Baik di diri kita maupun pasangan. Sebab masing-masing pasangan tidak bisa menurunkan egonya dan tidak ingin mengalah saat bertengkar, akan membuat hubungan lebih mudah retak.

4. Riwayat Selingkuh

Orang yang sudah pernah berselingkuh cenderung lebih mudah untuk mengulangi hal yang sama nih, Bunda. Bahkan sebuah penelitian pun pernah menguji hal tersebut dan menemukan bahwa orang yang berpengalaman dalam berselingkuh sebelumnya berisiko tiga kali lebih besar untuk mengurangi perselingkuhannya.

5. Attachment Style

Selanjutnya ada attachment style ya, Bunda. Jadi sederhananya ini adalah gaya saat kita berhubungan sama orang lain atau dekat dengan orang lain. Ada beberapa orang yang memiliki gaya dalam hubungan itu, kedekatan sama orang lainnya itu cemas banget, sering insecure. Sebenarnya ini balik lagi ke pola asuh dan ini berpotensi banget menyebabkan ketidaknyamanan salah satu pasangan atau keduanya sehingga besar kali risikonya untuk berselingkuh.

6. Child Hood Issues

Faktor risikonya selanjutnya ada child hood issues nih, Bunda. Misalnya trauma masa kecil di mana kita pernah dikasarin oleh orang tua maka akan membuat kepribadian yang buruk. Umumnya kontrol emosi anak-anak yang terpapar perselingkuhan orang tua berpotensi dua kali lebih besar untuk selingkuh. Sebab rasa trauma ini berpotensi banget memunculkan rasa ketidaknyamanan dalam hubungan. Orang yang memiliki trauma di masa kanak-kanak seperti misalnya pelecehan seksual, kekerasan fisik dan lain-lain dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk selingkuh atau misalnya berasal dari keluarga yang terpapar orang tuanya berselingkuh.

7. Sosial Atau Situasional

Sosial atau situasional juga menjadi salah satu faktor risiko perselingkuhan ya. Misalnya media sosial, di mana seringkali berpotensi menyebabkan perselingkuhan. Atau juga situasi di tempat kerja, ketika kita bercampur atau bertemu dengan banyak lawan jenis maka ada banyak peluang untuk menghabiskan waktu bersama seperti misalnya ketika dinas dan sebagainya. Pertemuan dengan orang baru yang mungkin terasa menarik bagi kita dan menimbulkan rasa kenyamanan menjadi faktor risiko perselingkuhan.

8. Adiksi atau Pornografi

Pornografi ini juga berpotensi menyebabkan perselingkuhan. Ketika seseorang kecanduan sesuatu yang berbau pornografi maka akan mengganggu hubungan dengan pasangan. Kecanduan pornografi bisa menjadi salah satu faktor penghancur hubungan pernikahan. Misalnya saja seseorang menjadi tidak puas dengan pasangannya sehingga lebih tertarik untuk menuntaskan hasrat dengan menonton pornografi tersebut, atau mencari orang lain yang lebih bisa memuaskan hasratnya.

Semua hal di atas bisa menjadi faktor risiko terjadinya perselingkuhan ya, Bunda. Perselingkuhan sendiri adalah hal yang sangat tidak diinginkan oleh semua pasangan. Setiap istri maupun suami pasti ingin memiliki pasangan yang setia. Oleh sebab itu, sebaiknya hindari semua faktor risiko di atas. Sebab perselingkuhan akan menyebabkan dampak bagi pasangan yang diselingkuhi. Mulai dari kehilangan rasa spesial lagi dalam dirinya, merasa bahwa dirinya sekarang bukan lagi yang nomor satu di hati pasangannya. Kemudian akan membuat dirinya merasa rendah dan tidak pantas bersanding dengan pasangannya sehingga akhirnya diselingkuhi. Akan kehilangan kontrol terhadap pikiran maupun perilaku sehingga seringkali berpikir overthinking, merasa kalau dunia ini tidak adil untuknya. Merasa kalau hidupnya tidak lagi memiliki makna. Bahkan bisa menyebabkan trauma hingga gangguan mental nih, Bunda. Selain itu, perselingkuhan juga tidak hanya berdampak kepada pasangan, tetapi juga akan melibatkan banyak pihak seperti salah satunya anak-anak kita.

Firman Ramdhani, M. PSI. sendiri menekankan tentang betapa pentingnya komitmen dalam sebuah hubungan pernikahan. “Kalau nikah kita kan, ada ijab qabulnya. Ijab qabulnya itu kan, pengikraran komitmen. Bersedia susah dan senang bersama-sama. Sedih dan bahagia bersama-sama. Kaya dan miskin, sakit dan sehat gitu, ya. Itu kan ikrar komitmen ya,” katanya dalam video Zoom Meeting tersebut. “Dan kita stand berdiri di komitmen itu setiap harinya. Jadi ketika, orang yang highly comited, komitmennya tinggi. Jadi ketika datang cobaan entah itu layangan putus atau apa pun itu, dia nggak akan goyah. Karena dia tahu, saya sudah komitmen,” sambungnya.

Lantas apa saja sih tips untuk tetap improve terhadap komitmen ini?

1. Values

Klarifikasi values dapat membantu individu untuk komitmen melakukan sebuah keputusan ya, Bunda. Bagaimana kita berperilaku? Kita ingin dianggap sebagai pasangan yang baik atau justru buruk? Values di sini adalah nilai yang ada dalam diri kita dalam menghadapi berbagai hal. Sesuatu yang ingin kita dapatkan, sesuatu yang ingin kita raih dalam hidup. Nilai yang kita anggap penting seperti misalnya ketika berhasil menjadi seorang suami maupun ayah yang baik.

2. Emosi Itu Sesaat

Bunda, sadari betul bahwa emosi itu seperti ombak, akan naik dan turun. Kita harus ingat bahwa emosi itu pada dasarnya bersifat sesaat. Orang seringkali tidak bisa mengontrol emosinya yang kemudian membuatnya kehilangan banyak hal dalam hidupnya. Oleh sebab itu, ketika sedang emosi jangan sampai kita bereaksi karena akan terbawa suasana. Orang yang mudah kelepasan saat marah, tetapi kemudian justru akan menyesal setelahnya. Oleh karena itu lebih baik kita sadari dengan baik ketika emosi itu datang.

3. Belajar Menjadi Lebih Baik

Sebagai sebuah bentuk komitmen kita harus belajar bagaimana memahami karakter, mengelola ekspektasi kita, serta belajar mengerti atau memahami bahasa cinta pasangan kita ya, Bunda. Ketika sedang ada masalah pun sebaiknya fokus pada solusi dengan tidak saling menyalahkan. Jadi bersama dengan pasangan kita belajar menjadi lebih baik demi terciptanya hubungan yang terus harmonis. Setiap hubungan pasti memiliki masalah, dan setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Oleh sebab itu, saling memperbaiki diri lebih baik daripada memutuskan untuk pergi dan berkhianat ya, Bunda.

4. Trust

Trust di sini dibangun setumpuk-setumpuk di mana kita mengakumulasi keputusan-keputusan kecil setiap harinya. Bangun kepercayaan bersama-sama dengan pasangan kita. Pahami ketika pasangan kita sedang kesal, berusaha untuk menjadi pendengar yang baik dan meresponnya dengan penuh rasa empati. Jangan justru kita emosi dan bersikap tidak peduli. Sebab rasa nyaman yang berasal dari pasangan, akan membangun rasa percaya secara perlahan. Jadi berusahalah untuk bersama-sama membangun kepercayaan agar kita selalu ingat dengan komitmen yang ada dalam pernikahan.

Bagaimana, Bunda? Apakah sudah memiliki komitmen yang kuat dalam pernikahan? Jika belum mari bersama-sama dengan pasangan bangun komitmen agar hubungan pernikahan tetap berjalan dengan harmonis, ya.

LEAVE A REPLY